Jumat, 12 Juni 2009

membaca buku membuat lebih pintar?

nasihat bahwa "...buku adalah jendela dunia...", "...membaca memperluas pengetahuan...", dll, dsb... sudah lama kita dengarkan-berulang2.
anda setuju? masalahnya, bacaan/ buku spt apa yg dibaca!?
kalau cuma bersifat hiburan seperti komik, majalah gosip, dsb, tentu manfaatnya minim.

tapi selain itu, buku yg sifatnya "lebih serius" pun belum tentu perlu anda baca.
saya pribadi berpendapat, buku2 yg direkomendasikan
banyak pihak belakangan ini (teman anda, kantor, sekolah, motivator, dll)
belum tentu cocok dengan diri anda.
m-e-n-g-a-p-a ?

Saya berikan beberapa alasan sederhana, dimana saya menempatkan diri saya seperti anda, seorang pembaca yg tdk puas & merasa kurang mendapat manfaat dari membaca, terutama buku (saya memang bukan penulis buku, hanya mhs yg tgsnya membaca, he 3x) :
  1. Buku terjemahan. Kita membaca krn ingin mengambil/memahami ide dlm bidang tertentu (contoh : materi kuliah), bukan hanya sekedar "tahu". Sulit mengandalkan seorang penerjemah untuk melakukan ini, krn si penerjemah bisa saja ditugaskan menerjemahkan buku tsb krn profesinya : hanya krn ia menguasai bahasa asing. ia belum tentu memahami bidang yg disampaikan dlm buku tsb atau berasal dari disiplin ilmu yg ada dlm buku itu. Bahkan bk yg masih dlm bhs aslinya (katakanlah, Inggris) pun kadang2 bertele2-panjang lebar-berputar2 alias lebay krn teknik menulis si pengarang aslinya memang begitu...
  2. Buku tsb diterbitkan dgn lingkup "u/ umum". padahal setelah kita baca, kita amat yakin buku ini hanya dpt dipahami (& bermanfaat) u/ kalangan tertentu.
  3. guru terbaik adalah pengalaman. sebagian besar orang yg mempelajari hidup dgn langsung "terjun" ke lapangan akhirnya berhasil/sukses dlm bidangnya masing2. tapi sebagian besar lulusan sekolah (contohnya spt jurusan saya : sarjana ekonomi) masih banyak yg pengangguran krn gaya bekerjanya "terlalu textbook" . Maka buktikan keampuhan (isi) buku anda dengan mempraktekkannya!
  4. Buku yg terlalu tebal mengesankan "isi" buku tersebut amat luas. padahal ternyata buku itu tebal krn si penulis bertele2, menjelaskan panjang-lebar ; pemikiran yg disampaikan dlm 7 halaman kita dapati sebenarnya cukup dipaparkan dlm 2 halaman s a j a. memang barangkali si penulis bermaksud baik : agar pembaca yg daya tangkapnya di bawah rata2 dpt ikut memahami isi buku. tapi buku tebal yg ketebalannya ternyata "menipu", menurut saya, akan menyebabkan demotivasi : kita jadi malas membacanya.
  5. Kita membaca buku krn dipaksa/atas rekomendasi orang lain, bukan krn kita sendiri merasakan adanya kebutuhan membaca buku itu. Isi buku ternyata tak sesuai harapan.
jadi kebiasaan membaca memang bisa bermanfaat bagi anda, mencerdaskan & cukup praktis
jika isi bacaan/buku tsb memang bermanfaat u/ anda & anda sendiri dapat memahami cara si penulis menyampaikan pikirannya.

Selasa, 09 Juni 2009

Dosanya, bukan orangnya

Saya membedakan kata "sebel" dengan "benci".

Barangkali kita pernah disakiti seseorang sampai parah sekali,
sehingga kita memutuskan orang itu "tak akan bisa berubah".
Padahal musuh yang sesungguhnya mesti kita lawan adalah
penyebab orang itu melakukan dosanya : iblis dengan godaannya.
Jadi sebenarnya, orang yang tengah berbuat dosa
sedang kerasukan/kesurupan iblis.

Nah, jadi sebetulnya sayang sekali kan, kalau kita memutuskan
membenci seseorang karena pada suatu titik waktu ia berbuat dosa,
termasuk pada kita? Kalaupun kita membencinya, iblis -yang
memprakarsai dosa tersebut- bisa seenaknya kabur & ngumpet
di jiwa orang yang lain lagi.
Jadi sadarilah siapa lawan kita sesungguhnya.

Menurut saya, perasaan sebel dapat dianggap manusiawi,
kadang muncul tanpa mampu kita cegah.
Sedangkan perasaan benci sesungguhnya perlu dilawan,
karena dapat berlangsung seumur hidup, padahal orang
yang dibenci bisa saja suatu saat sadar dan mau berubah.

Tentu agak sulit, karena sikap yg salah ini sudah lama-turun temurun
diajarkan pada umat manusia, termasuk kita orang Indonesia.
Tapi sulit berarti masih bisa dicoba & masih mungkin berhasil...

Senin, 08 Juni 2009

usaha, bukan hasilnya, yang penting

Miris tiap kali melihat seseorang dihargai hanya dari hasil usahanya : berhasil atau gagal, menang atau kalah, dsb... Hampir semua orang sibuk memberi selamat kepada "sang pemenang" seolah si juara menang sekali u/ selamanya alias tdk bisa kalah.

Hasil suatu kompetisi sesungguhnya merupakan keputusan Tuhan, bukan karena "sudah bisa dipastikan" sang pemenang. Jadi tiap peserta kompetisi sesungguhnya tdk perlu sibuk "memastikan" hasil usahanya, karena sikap spt itu tdk ada gunanya.
Prinsip yg benar menurut saya adalah :
berusahalah sebaik mungkin

Jgn malah memaksa Tuhan u/ memberikan kemenangan kpd kita.
Itu mrpk hak (pilihan), bukan kewajiban Tuhan kepada kita.
Karena itulah saya berusaha untuk memulai prinsip :
usaha, bukan hasilnya, yang penting
bagi diri saya sendiri maupun dalam menghargai orang lain...
Salut u/ orang2 yg blm pernah jadi "juara" (rangking 1 di sekolah, juara lomba, dst)
namun tetap jadi "peserta lomba" yg baik alias tetap ber"main bersih", tdk curang.
Justru orang2 spt andalah yg patut ditiru para penerus : mementingkan cara melakukan sesuatu dgn benar & tdk gelisah dgn "Hasil apa yg nanti saya dpt?"

Minggu, 07 Juni 2009

itu masalah selera

Nah, judul ini saya diinspirasi sebuah percakapan dalam novel remaja yg terkenal.
Maksudnya..... :
kita sering berada dalam percakapan yg rasanya "tdk akan berujung", krn membicarakan sesuatu yg kita anggap favorit dari sudut pandang kita. Misalnya grup/aliran musik, genre film, klub sepakbola, dll.
Lucunya, saya kadang mendapati orang2 yg tengah berdiskusi itu akhirnya terbagi dalam 2 kubu :
mayoritas & minoritas. Kubu mayoritas adalah orang2 dgn selera yg mirip/sama & ternyata jumlahnya terbanyak di kumpulan tsb. Akhirnya, sengaja atau tidak, sekumpulan orang ini memandang seleranya sebagai "yang benar"...
hahaha... padahal itu hanya masalah selera
Secara pribadi, saya berusaha menghargai orang lain yg seleranya berbeda dari saya/kami, bahkan meskipun ia sendirian. Selama seleranya itu tidak berbahaya/melanggar hukum, tdk ada masalah.
Bahkan saya juga bisa menerima orang2 yg, saat ditanya apa seleranya mengenai suatu hal, malah bingung... hehehe...

Jumat, 05 Juni 2009

Saya lebih suka dipimpin wanita

Apa salahnya jika kaum perempuan memimpin & berkuasa?
Saya cowok & tdk sedang membicarakan kehidupan politik di negara ini, Indonesia.
Saya bicara tentang seluruh dunia, dimana pola pikir patriarkat masih dominan.
  1. Bukankah kekuasaan = tanggung jawab = tugas? Jadi bukankah kaum pria mestinya lega jika bisa berbagi beban tersebut?
  2. Bukankah laki-laki & perempuan, secara kodrat, memang diciptakan dengan kelebihan & kelemahannya masing2? Jadi jika perempuan-secara umum-memang ternyata lebih mampu menahan beban emosi, mampu memikirkan/mengerjakan 2 hal pada saat bersamaan ("dual core", hehehe...), mengapa tidak kita biarkan mereka menggunakan kelebihan tersebut u/ membantu umat manusia menjalankan kehidupan & memenuhi kebutuhan kita bersama?
  3. Apa yg ditakutkan kaum pria jika membiarkan perempuan memimpin/berkuasa? Saya curiga itu hanya masalah gengsi, bahkan bukan mengenai harga diri kaum pria. Mungkin penganut patriarkat takut dipandang inferior jika wanita mampu melakukan banyak hal lebih baik dari pria. Padahal dari pengalaman saya bergaul dgn berbagai perempuan, kebanyakan dari mereka tak berniat-& tdk merasa perlu-melecehkan kaum pria jika ternyata mereka lebih unggul dari kita.
  4. Pendekatan kaum wanita umumnya lebih lembut dari kita, bro... dlm bekerja, memimpin & lain2... Enak bukan, kalau kehidupan kita jadi lebih lembut, rapi, berseni, indah, dll... Apalagi kalau pemimpinnya enak dilihat alias indah...? hahaha..... Saya cowok tulen, loh... bukan bencong... :D Yakinlah, kita akan tetap memiliki & mempertahankan maskulinitas kita. Kita hanya membiarkan mereka melakukan apa yg memang sebetulnya merupakan bagian mereka.
Jadi, mari buang gengsi yg ga perlu itu...!! Dan nikmatilah hidup yg lebih baik dari skrg...

Kamis, 04 Juni 2009

PT Rumah Sakit

Hahaha... lucu... beberapa pekan setelah tulisan Radhar Panca Dahana, "Rumah (yang) Sakit" dimuat di salah satu harian terkemuka negara ini, Bu Prita malah jadi korban RS sebagaimana dilukiskan Pak Radhar. Saya jadi ingat cerita dalam tulisan itu :
diberi resep Rp 300.000 hanya u/ sebuah bisul, yg akhirnya sembuh dgn resep dokter lain seharga Rp 1.600,- saja... hahaha...